Wednesday, August 6, 2014

Suleiman I

Yosh soba Gua, kali saya akan memposting Biografi Tokoh Islam...

Suleiman I  adalah sultan Turki Utsmaniyah ke-10 yang berkuasa dari tahun 1520 hingga 1566. Ia dikenal sebagai Suleiman yang Luar Biasa di Barat, dan pemberi hukum (bahasa Turki: Kanuni; bahasa Arab: القانونى, al‐Qānūnī) di Timur karena pencapaiannya dalam menyusun kembali sistem undang-undang Utsmaniyah. Ia merupakan tokoh penting pada Eropa abad ke-16. Suleiman memimpin tentara Utsmaniyah menaklukkan Belgrade, Rhodes, dan sebagian besar Hongaria sebelum berhasil dipukul mundur dalam Pengepungan Wina tahun 1529. Ia menganeksasi sebagian besar Timur Tengah dan Afrika Utara (hingga sejauh Aljazair di barat). Di bawah kekuasaannya, armada Utsmaniyah menguasai Laut Tengah, Merah, dan Teluk Persia.



Dalam upayanya untuk memperkuat Utsmaniyah, Suleiman melancarkan reformasi legislatif yang berhubungan dengan masyarakat, pendidikan, perpajakan, dan hukum kriminal. Hukum kanoniknya (atau Kanun) memperbaiki bentuk kekaisaran selama berabad-abad setelah kematiannya. Selain merupakan penyair dan tukang emas, ia juga menjadi pelindung budaya yang besar, hingga Utsmaniyah mencapai masa keemasan dalam bidang artistik, sastra, dan arsitektur. Suleiman mampu menuturkan lima bahasa: Bahasa Turki Utsmaniyah, Arab, Serbia, Chagatai (dialek bahasa Turki dan berhubungan dengan Uighur), dan Persia.

Suleiman menikahi seorang perempuan harem yang bernama Hürrem Sultan, meskipun tindakan ini melanggar tradisi Utsmaniyah. Putra mereka, Selim II, menggantikan Suleiman setelah berkuasa selama 46 tahun.

Kehidupan awal


Suleiman lahir diperkirakan pada tanggal 6 November 1494 di Trabzon, di daerah pantai Laut Hitam. Ibunya adalah Valide Sultan Aishe Hafsa Sultan atau Hafsa Hatun Sultan, yang wafat pada tahun 1534. Pada usia tujuh tahun, ia dikirim untuk belajar sains, sejarah, sastra, teologi, dan taktik militer di sekolah Istana Topkapı di Konstantinopel. Sebagai seorang pemuda, ia berteman dengan Ibrahim, seorang budak yang di kemudian hari menjadi penasihatnya yang paling dipercaya. Pada usia 17 tahun, Suleiman ditunjuk sebagai Gubernur Kaffa (Theodosia), kemudian ia juga ditunjuk menjadi Gubernur Sarukhan (Manisa) setelah sebelumnya menjabat sebentar di Edirne. Saat ayahnya, Selim I (1465–1520), meninggal dunia, Suleiman kembali ke Konstatinopel dan mengambil kekuasaan sebagai Sultan Usmaniyah ke-10.

Catatan yang dibuat oleh seorang utusan Republik Venesia, Bartolomeo Contarini, beberapa minggu setelah Suleiman naik takhta mendeskripsikan Suleiman sebagai berikut: "Ia berusia 25 tahun, tinggi, namun lincah, dan berkulit halus. Lehernya agak panjang, wajahnya pipih, dan hidungnya bengkok. Ia memiliki kumis dan janggut; pembawaannya menyenangkan meski kulitnya cenderung terlihat pucat. Konon ia adalah seorang tuan yang baik, suka belajar, dan menjadi harapan masyarakat untuk menciptakan kemakmuran dalam kekuasaannya." Beberapa sejarawan menyatakan bahwa pada masa mudanya Suleiman memiliki kekaguman yang besar terhadap Alexander Agung. Ia terpengaruh visi Alexander untuk membangun kekaisaran dunia yang menguasai daerah Timur dan Barat, dan konon hal ini yang mendorongnya melakukan kampanye militer ke wilayah Asia, Afrika, serta Eropa.

Kampanye militer

 

Penaklukan di Eropa


Setelah menggantikan ayahnya, Suleiman mengembangkan wilayah kekuasaan melalui serangkaian kampanye militer. Langkah awal yang dilakukannya adalah menekan pemberontakan yang dilakukan oleh Gubernur Damaskus pada tahun 1521. Setelah itu, Suleiman melakukan penyerangan ke wilayah Belgrade yang dikuasai oleh Kerajaan Hongaria. Penyerangan itu sangat vital untuk menaklukkan Kerajaan Hongaria yang—sejak kejatuhan Serbia, Bulgaria, Albania, dan Kekaisaran Romawi Timur—menjadi satu-satunya penghalang kampanye militer Utsmaniyah ke Eropa. Suleiman mengepung Belgrade dan mulai melakukan pengeboman besar-besaran dari kepulauan di wilayah Donau. Dengan pasukan yang hanya berjumlah sekitar 700 orang dan tanpa bantuan dari Hongaria, Belgrade jatuh ke tangan Suleiman pada bulan Agustus 1521.

Berita jatuhnya salah satu benteng terkuat umat Kristen menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran di seluruh Eropa. Sebagaimana yang dicatat oleh seorang duta besar Kekaisaran Suci Romawi di Konstatinopel: "Penaklukan Belgrade adalah awal dari peristiwa-peristiwa dramatis yang menimpa Hongaria. Penaklukan itu berlanjut dengan kematian Raja Lajos, penaklukan Buda, pendudukan Transilvania, dan hancurnya kerajaan yang pernah berkembang serta timbulnya ketakutan di negara-negara tetangga yang khawatir mereka akan mengalami nasib yang sama..."

Jalan untuk menyerang langsung Hongaria dan Austria sudah terbuka, namun Suleiman mengalihkan perhatiannya kepada kepulauan Rodos di Mediterania Timur, kota basis Ksatria Hospitaller. Ordo ksatria itu dikenal memiliki unit bajak laut di wilayah Asia Kecil dan Levant yang kegiatan operasinya mengganggu kepentingan Utsmaniyah. Pada musim panas 1522, Suleiman mengirim armada berkekuatan 400 kapal dan secara personal memimpin 100.000 tentara menyeberangi Asia Kecil. Meskipun mengalami perlawanan yang sangat hebat dalam Pengepungan Rodos, kota tersebut berhasil dikuasai dan Ksatria Rodos diusir dari sana.

Dengan memburuknya hubungan antara Hongaria dengan Kesultanan Utsmaniyah, Suleiman melanjutkan kampanyenya di Eropa Timur pada 29 Agustus 1526 dengan mengalahkan Louis II dari Hongaria (1506–26) dalam Pertempuran Mohács. Ketika menemukan mayat Raja Louis, Suleiman konon berkata: "Aku memang datang membawa senjata untuk menghadapinya; namun bukan keinginanku melihatnya tewas karena ia belum banyak menikmati indahnya kehidupan dan kebangsawanan." Sejak itu kerajaan Hongaria mengalami kemunduran dan Utsmaniyah bangkit menjadi kekuatan utama di Eropa Timur.

Di bawah kepemimpinan Karl V dan saudaranya Ferdinand I, Kaisar Romawi Suci, Wangsa Habsburg menyerang dan menaklukkan kembali Buda serta menguasai Hongaria. Pada tahun 1529, Suleiman sekali lagi mengerahkan pasukan untuk menyerang Buda, dan berhasil merebutnya. Selain Buda, ia juga menyerang Wina. Namun dengan 16.000 tentara yang menjaga, Austria berhasil mempertahankan Wina. Usaha kedua untuk menaklukkan Wina pada tahun 1532 juga gagal, Suleiman terpaksa mundur sebelum mencapai kota. Kedua kekalahan ini terjadi akibat buruknya cuaca (yang memaksa mereka meninggalkan peralatan-peralatan penting) dan terlalu panjangnya rantai persediaan. Penyerangan ini merupakan salah satu ekspedisi paling ambisius Kesultanan Utsmaniyah.

Pada tahun 1540-an, terjadi konflik di Hongaria. Beberapa bangsawan Hongaria mengusulkan agar Ferdinand, Adipati Utama Austria (1519–64), yang pernah menjadi pemimpin Austria dan masih satu keluarga dengan Louis II, menjadi Raja Hongaria dengan mengutip sebuah perjanjian bahwa wangsa Habsburg akan mendapatkan takhta Hungaria apabila Louis tewas tanpa menunjuk putra mahkota, namun beberapa bangsawan lebih mendukung János Zápolya. Konflik ini memberikan peluang bagi Suleiman untuk membalas kekalahannya di Wina.

Pada tahun 1541, wangsa Habsburgs sekali lagi terlibat konflik dengan Utsmaniyah dengan menyerang Buda. Namun penyerangan itu gagal, bahkan beberapa benteng mereka balik direbut dalam serangan balasan Utsmaniyah. Ferdinand dan saudaranya Karl V kalah dan dipaksa menandatangani perjanjian yang memalukan di hadapan Suleiman. Ferdinand dipaksa melepas klaimnya atas takhta Hongaria dan diwajibkan membayar upeti dalam jumlah tetap setiap tahunnya kepada Sultan.
Dengan hancurnya saingan-saingan utama, Kesultanan Utsmaniyah menjadi kekaisaran terkuat dan memegang peranan paling penting di Eropa ketika itu.

  Perang Utsmaniyah-Safawiyah

 

Setelah Suleiman menstabilisasi pasukannya di front Eropa, ia mengalihkan perhatiannya untuk menyerang Dinasti Safawiyah dari Persia. Ada dua peristiwa yang menyebabkan Suleiman memandang Dinasti Safawiyah sebagai ancaman. Pertama, Gubernur Baghdad yang loyal kepada Suleiman dibunuh oleh Shah Tahmasp dan digantikan dengan orang yang setia kepada Shah. Kedua, Gubernur Bitlis yang dikuasai Suleiman berkhianat dan menyatakan kesetiaan pada Dinasti Safawiyah. Sebagai hasilnya, pada tahun 1533, Suleiman memerintahkan Wazir Agung Ibrahim Pasha untuk memimpin pasukan ke Asia. Ia kemudian berhasil merebut kembali Bitlis dan menguasai Tabriz tanpa perlawanan berarti. Suleiman menyusul dan bergabung dengan pasukan Ibrahim pada 1534 dan melakukan penyerangan langsung ke Persia. Shah lebih memilih mengorbankan teritorinya daripada menghadapi Suleiman. Pada tahun berikutnya Suleiman dan Ibrahim berhasil memasuki Baghdad, komandannya menyerahkan kota dan mengakui Suleiman sebagai pemimpin dunia Muslim dan pengganti sah kekhalifahan Abbasiyah.

Bermaksud menghancurkan Shah untuk selamanya, Suleiman berangkat dalam kampanye kedua pada tahun 1548–1549. Seperti sebelumnya, Tahmasp menghindari konfrontasi dengan pasukan Utsmaniyah dan memilih untuk mundur sambil melancarkan taktik bumi hangus. Setelah menguasai Tabriz, Armenia, dan beberapa benteng di Georgia, Suleiman memilih untuk menghentikan kampanyenya karena kerasnya musim dingin di Kaukasus.

Pada tahun 1553 Suleiman memulai kampanye ketiga dan terakhirnya melawan Shah. Sebelumnya pasukan Utsmaniyah mengalami kekalahan di Erzurum dan kehilangan kekuasaan atas kota tersebut di tangan anak Shah. Suleiman berniat kembali menguasai Erzurum dengan menyeberangi Sungai Efrat. Pasukan Shah kembali menggunakan taktiknya menghindari pasukan Utsmaniyah, yang berakibat terjadinya kebuntuan (stalemate). Pada tahun 1554, sebuah perjanjian ditandatangani yang mengakhiri kampanye militer Suleiman di Asia. Termasuk dalam perjanjian itu adalah Suleiman mengembalikan Tabriz, namun sebagai gantinya mendapatkan Baghdad, sebagian Mesopotamia, mulut Sungai Efrat dan Tigris, serta sebagian Teluk Persia. Shah juga berjanji untuk tidak melakukan serangan apa pun ke wilayah Utsmaniyah.

Kampanye di Samudra Hindia dan India

 

Di Samudra Hindia, Suleiman memimpin beberapa kampanye laut terhadap Portugal dengan tujuan mengusir mereka dan mengamankan jalur perdagangan dengan India. Aden di Yemen direbut oleh Utsmaniyah pada tahun 1538 untuk dijadikan basis serangan terhadap jajahan Portugal di pantai Barat India. Pada bulan September 1538, Utsmaniyah gagal mengalahkan Portugal dalam Pengepungan Diu dan terpaksa kembali ke Aden. Dari Aden, tentara Utsmaniyah dipimpin Sulayman Pasha dapat mengambil alih seluruh wilayah Yemen serta Sa'na. Akan tetapi, Aden memberontak dan meminta bantuan Portugal, sehingga Portugal menguasai kembali kota tersebut, hingga direbut lagi oleh pasukan Utsmaniyah di bawah pimpinan Piri Reis pada tahun 1548.
Dengan kendali yang kuat atas Laut Merah, Suleiman berhasil mengamankan jalur perdagangan India yang dahulu dikuasai Portugal, dan menjaga perdagangan dengan India selama abad ke-16.
Pada tahun 1564, Suleiman menerima utusan dari Kesultanan Aceh, yang meminta bantuan melawan Portugis. Maka ekspedisi Utsmaniyah ke Aceh diluncurkan dan berhasil memberikan dukungan militer terhadap Aceh.

Ekspedisi Utsmaniyah ke Aceh

 

Ekspedisi Utsmaniyah ke Aceh dimulai sekitar tahun 1565 ketika Kesultanan Utsmaniyah berusaha mendukung Kesultanan Aceh dalam pertempurannya melawan Portugis di Malaka. Ekspedisi dilancarkan setelah dikirimnya duta oleh Sultan Alauddin al-Qahhar (15391571) kepada Suleiman Agung pada tahun 1564, dan kemungkinan seawal tahun 1562, meminta dukungan Turki terhadap Portugis.

Persekutuan Aceh-Turki Utsmani secara tak resmi sudah ada sejak tahun 1530-an. Sultan Alauddin al-Qahhar berkeinginan mengembangkan hubungan tersebut, untuk mencoba mengusir Portugis dari Malaka, dan memperluas kekuasaannya di Sumatera. Menurut Fernão Mendes Pinto, Sultan Aceh merekrut 300 prajurit Utsmaniyah, beberapa orang Abesinia dan Gujarat, serta 200 saudagar Malabar untuk menaklukkan Tano Batak pada tahun 1539.

Setelah tahun 1562, Aceh nampaknya sudah menerima bala bantuan Turki yang memungkinkannya menaklukkan Kerajaan Aru dan Johor pada tahun 1564.Pengiriman duta ke Istanbul pada tahun 1564 dilakukan oleh Sultan Husain Ali Riayat Syah. Dalam suratnya kepada Porte Usmaniyah, Sultan Aceh menyebut penguasa Utsmaniyah sebagai Khalifah (penguasa) Islam.

Setelah mangkatnya Suleiman pada tahun 1566, anandanya Selim II memerintahkan pengiriman armada ke Aceh. Sejumlah prajurit, pembuat senjata, dan insinyur diangkut oleh armada tersebut, bersama dengan pasokan senjata dan amunisi yang melimpah. Armada pertama terdiri atas 15 dapur yang dilengkapi dengan artileri, namun dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman. Akhirnya, hanya 2 kapal yang tiba antara tahun 1566–1567, namun sejumlah armada dan kapal lain menyusul.Ekspedisi itu dipimpin oleh Kurdoglu Hizir Reis. Orang Aceh membayar kapal tersebut dengan mutiara, berlian, dan rubi. Pada tahun 1568, Aceh menyerang Malaka, meskipun Turki tak nampak ikut serta secara langsung.
Usmaniyah mengajari Aceh bagaimana membuat meriam, yang pada akhirnya banyak diproduksi. Dari awal abad ke-17, Aceh dapat berbangga akan meriam perunggu ukuran sedang, dan sekitar 800 senjata lain seperti senapan putar bergagang dan arquebus.

Ekspedisi tersebut menyebabkan berkembangnya pertukaran antara Kesultanan Aceh dan Turki Utsmani dalam bidang militer, perdagangan, budaya, dan keagamaan. Penguasa Aceh berikutnya meneruskan pertukaran dengan Khilafah Turki Utsmani, dan kapal-kapal Aceh diizinkan mengibarkan bendera Utsmaniyah.

Hubungan antara Kesultanan Aceh dan Turki Utsmani menjadi ancaman besar bagi Portugis dan mencegah mereka mendirikan kedudukan dagang monopolistik di Samudera Hindia. Aceh merupakan saingan dagang utama Portugis, kemungkinan mengendalikan perdagangan rempah-rempah lebih banyak daripada Portugis, dan Portugis mencoba menghancurkan sumbu perdagangan Aceh-Turki-Venesia untuk keuntungan sendiri. Portugis berencana menyerang Laut Merah dan Aceh, namun gagal karena kurangnya tenaga manusia di Lautan Hindia.

Ketika diserang oleh Belanda pada tahun 1873, Aceh meminta perlindungan dengan persetujuannya yang sudah lebih dulu tercapai dengan Kesultanan Usmaniyah sebagai salah satu dependensinya, namun klaim itu ditolak oleh kuasa Barat yang takut bila kejadian masa lalu terulang. Armada yang dipersiapkan untuk membantu Aceh sendiri pada akhirnya dialihkan untuk menumpas pemberontakan Zaidiyah di wilayah Yaman.

Mediterania dan Afrika Utara

 

Setelah berhasil melakukan konsolidasi pada pasukan daratnya, Suleiman mendapatkan kabar bahwa benteng Koroni di Morea telah direbut salah satu admiral Karl V, Andrea Doria. Kehadiran pasukan Spanyol di Mediterania Timur menimbulkan kekhawatiran Suleiman, yang melihat itu sebagai indikasi bahwa Karl V mencoba mengganggu dominasi Utsmaniyah di kawasan tersebut. Suleiman merasa perlu mempertegas kekuatannya di Mediterania sehingga ia mengerahkan salah satu komandan laut terbaiknya Khair ad Din, yang oleh orang Eropa dikenal dengan nama Barbarossa. Barbarossa ditugaskan untuk membangun kembali angkatan Utsmaniyah hingga Utsmaniyah memiliki jumlah armada yang sama dengan total seluruh armada negara-negara lain di Mediterania digabungkan. Pada tahun 1535 Karl V mendapatkan kemenangan atas Utsmaniyah di Tunis. Di saat yang sama, Suleiman sedang berperang dengan Venesia. Hal ini memaksa Suleiman untuk menyetujui proposal pembentukan aliansi dari François I dari Perancis untuk melawan Karl. Pada tahun 15388, armada Spanyol dikalahkan oleh Barbarossa dalam Pertempuran Preveza, sehingga Utsmaniyah berkuasa di wilayah itu selama 33 tahun hingga kekalahan mereka dalam Pertempuran Lepanto pada tahun 1571.

Bagian timur Maroko berhasil dikuasai. Wilayah Berberia seperti Tripolitania, Tunisia, dan Algeria dikuasai dan diberi status provinsi otonom serta dijadikan ujung tombak Suleiman dalam menghadapi Karl V. Dalam periode pendek ekspansi itu mampu mengamankan dominasi laut Utsmaniyah di Mediterania. Angkatan laut Utsmaniyah juga mengontrol Laut Merah, dan menguasai Teluk Persia hingga 1554, ketika kapal-kapal mereka dihancurkan oleh angkatan laut Kekaisaran Portugis. Portugis juga menguasai Ormus pada tahun 1515 dan bertempur dengan tentara Suleiman untuk merebut Aden.

Karena sedang menghadapi musuh yang sama, François I dan Suleiman memperbaharui perjanjian aliansi mereka. Sebagai hasilnya, Suleiman mengirimkan 100 kapal di bawah pimpinan Barbarossa untuk membantu pasukan Perancis di Mediterania Barat. Barbarossa berhasil menguasai pantai Naples dan Sisilia sebelum sampai ke Perancis. Perancis kemudian menjadikan Toulon sebagai markas besar angkatan laut Utsmaniyah. Dari sana Barbarossa menyerang Nice pada tahun 1543. Pada tahun 1544, François I dan Karl V mengadakan perjanjian perdamaian sehingga aliansi antara Perancis dan Utsmaniyah berakhir sementara.

Di tempat lain, Ksatria Hospitaller yang pernah diusir Utsmaniyah membangun kekuatan baru di Malta, membentuk ordo Ksatria Malta pada 1530. Mereka melakukan penyerangan terhadap kapal-kapal musim sehingga memancing perhatian Utsmaniyah. Suleiman akhirnya mengirimkan tentara dalam jumlah yang sangat besar untuk mengusir mereka. Pertempuran dimulai pada 18 Mei dan berakhir pada 8 September. Awalnya pasukan Utsmaniyah berhasil membantai Ksatria Malta dan menghancurkan beberapa kota, namun tentara bantuan dari Spanyol datang dan membalikkan keadaan, menyebabkan tewasnya 30.000 tentara Utsmaniyah.


Kehidupan pribadi

 

Hürrem Sultan

 

Suleiman jatuh hati pada Hürrem Sultan, putri harem yang berasal dari Rutenia. Kalangan diplomat barat menjuluki sang putri sebagai "Russelazie" atau "Roxelana", mengacu pada asal usul Slavianya. Hürrem Sultan adalah putri dari pendeta Ortodoks Ukraina. Ia diperbudak dan bangkit hingga mencapai posisi Harem untuk menjadi kesukaan Suleiman. Meskipun merupakan pelanggaran tradisi Utsmaniyah selama dua abad, sang mantan selir menjadi istri resmi sultan, dan membuat banyak pengamat di istana dan kota tercengang. Hürrem Sultan diperbolehkan tinggal dengan Suleiman di istana selama sisa hidupnya. Tindakan ini lagi-lagi melanggar tradisi, bahwa ketika ahli waris mencapai usianya, sang ahli waris akan dikirim bersama dengan selir yang melahirkannya ke provinsi terpencil untuk memerintah, dan tidak akan pernah kembali kecuali keturunan mereka menjadi penerus takhta. 

Ibrahim Pasha

Pargalı İbrahim Pasha adalah teman masa kecil Suleiman. Ibrahim awalnya memeluk agama Ortodoks Yunani, dan ketika muda disekolahkan di sekolah istana di bawah sistem devshirme.
Suleiman menjadikannya falconer kerajaan, lalu mengangkatnya menjadi perwira pertama ruang tidur kerajaan. Ibrahim Pasha diangkat menjadi Wazir Agung pada tahun 1523 dan kepala komando semua angkatan bersenjata. Suleiman juga menganugerahkan kehormatan beylerbey Rumelia kepada Ibrahim Pasha, yang memberinya kekuasaan terhadap seluruh wilayah Turki di Eropa, dan juga komando tentara di tempat tersebut pada masa perang. Menurut penulis kronik abad ke-17, Ibrahim telah meminta Suleiman untuk tidak mengangkatnya ke posisi tinggi itu, karena takut akan keselamatannya. Suleiman menjawab bahwa di bawah kekuasaannya apapun keadaannya, Ibrahim tidak akan pernah dihukum mati.
Akan tetapi hubungan Ibrahim dengan sultan memburuk. Pada tahun ke-13 ia menjabat sebagai Wazir Agung, peningkatan kekuasaan dan kekayaannya membuat Ibrahim menjadi musuh bagi banyak orang di istana sultan. Laporan mengenai kelancangan Ibrahim mencapai telinga sultan pada masa peperangan melawan Safawiyah: terutama penetapan gelar sultan serasker oleh Ibrahim dianggap sebagai penghinaan oleh Suleiman.

Kecurigaan Suleiman terhadap Ibrahim semakin menguat akibat pertentangan dengan Menteri Keuangan Iskender Chelebi. Perselisihan berakhir dengan memalukan bagi Chelebi (atas tuduhan intrik), dan Ibrahim meyakinkan Suleiman untuk mengeksekusinya. Sebelum kematiannya, kata terakhir Chelebi menuduh Ibrahim melakukan konspirasi terhadap sultan. Pesan kematian itu membuat Suleiman yakin akan ketidaksetiaan Ibrahim, dan pada 15 Maret 1536 mayat Ibrahim ditemukan di Istana Topkapi.

Penerus

Suleiman memiliki delapan anak dari dua istri, empat di antaranya hidup hingga lebih dari tahun 1550-an. Mereka adalah Mustafa, Selim, Bayezid, dan Jihangir. Dari keempatnya, hanya Mustafa yang bukan anak dari Hürrem Sultan, melainkan anak dari Mahidevran Gülbahar Sultan dan karenanya ia berada di urutan pertama dari empat anak yang akan menggantikan Sultan. Hürrem khawatir bila Mustafa yang menjadi Sultan, anak-anaknya akan terkucil. Mustafa diakui memiliki talenta lebih besar dibanding anak Sultan lainnya, dan juga mendapat dukungan Pargalı İbrahim Pasha, yang ketika itu masih menjadi Wazir Agung. Duta besar Austria Busbecq mencatat "Di antara anak-anak Suleiman ada yang bernama Mustafa, yang sangat terdidik dan bijaksana serta dalam usia yang matang, 24 atau 25 tahun; semoga Tuhan tidak membiarkan barbar sepertinya datang mendekati kita", dan juga menyebut "bakat alami yang luar biasa" yang dimiliki Mustafa.

Dalam pergantian kekuasaannya, timbul intrik-intrik yang kemungkinan didalangi oleh Hürrem. Meskipun ia adalah seorang istri Sultan, Hürrem tidak memiliki peran resmi apa pun dalam pemerintahan, namun demikian ia tetap memiliki pengaruh politik. Karena kesultanan tidak memiliki aturan formal, pergantian kekuasaan biasanya diwarnai oleh pembunuhan di antara pangeran-pangeran yang bersaing memperebutkan takhta untuk menghindari terjadinya perang saudara atau pemberontakan. Agar anak-anaknya terhindar dari hukuman mati atau pembunuhan, Hürrem menggunakan pengaruhnya untuk menyingkirkan mereka yang mendukung Mustafa.

Hürrem diduga mendalangi dan mendorong Suleiman untuk membunuh Ibrahim dan menggantinya dengan menantu Hürrem, Rustem Pasha. Pada tahun 1552, ketika kampanye melawan Persia dimulai dan Rustem ditunjuk sebagai komandan ekspedisi, intrik melawan Mustafa dimulai. Rustem mengirimkan salah satu orang kepercayaan Suleiman untuk melaporkan bahwa karena Suleiman tidak lagi memimpin, pasukan berpikir bahwa inilah saatnya seorang pangeran yang lebih muda untuk menggantikannya; pada saat yang sama Rustem menyebar isu bahwa Mustafa mendukung ide itu. Suleiman marah dan menuduh Mustafa hendak merebut kekuasaan.

Ketika Mustafa kembali dari kampanye di Persia, Suleiman memanggil Mustafa untuk datang ke tendanya di Lembah Ereğli, dan menyebutkan bahwa "Mustafa dapat datang dan menjelaskan semua permasalahan yang dituduhkan kepadanya; tidak ada yang perlu ditakutan". Mustafa hanya memiliki dua pilihan: ia datang kepada ayahnya dengan risiko dibunuh; atau, bila ia menolak datang, ia akan dituduh berkhianat. Mustafa akhirnya memilih untuk menghadap ayahnya dengan keyakinan bahwa pasukannya akan melindungi dia. Busbecq, yang mengklaim mendapatkan keterangan dari beberapa saksi, menggambarkan momen terakhir Mustafa. Ketika Mustafa memasuki tenda ayahnya, salah seorang kasim Suleiman menyerangnya. Mustafa mencoba bertahan namun kewalahan dengan banyaknya penyerang dan akhirnya tewas dicekik menggunakan tali.

Jihangir meninggal beberapa bulan kemudian, konon disebabkan karena kesedihan yang mendalam akibat kakak tirinya, Mustafa, tewas. Dua saudara yang tersisa, Bayezid dan Selim, diberikan wilayah kekuasaan masing-masing. Namun, dalam beberapa tahun, perang saudara pecah, keduanya didukung oleh pasukan-pasukannya masing-masing. Dengan bantuan dari pasukan ayahnya, Selim mengalahkan Beyezid di Konya pada tahun 1559, menyebabkan Beyezid lari ke Persia bersama empat anaknya. Dalam sebuah perjanjian, Suleiman meminta kepada Shah Persia untuk mengekstradisi atau mengekeskusi Beyezid dengan imbalan sejumlah besar emas. Shah akhirnya mengizinkan algojo dari Turki untuk mengeksekusi Beyezid dan keempat anaknya pada tahun 1561, memuluskan jalan Selim ke tampuk kekuasaan. Pada tanggal 5 atau 6 September 1566, Suleiman, yang ketika itu hendak memimpin pasukan dalam ekspedisi ke Hongaria, meninggal dunia. Selim pun menggantikan ayahnya memimpin Kesultanan.


Peninggalan

 

Saat Suleiman wafat, Kesultanan Utsmaniyah telah menjadi salah satu kekuatan yang disegani di dunia. Penaklukan yang dilakukan Suleiman menyebabkan kesultanan menguasai kota-kota besar Islam seperti Mekah, Madinah, Yerusalem, Damaskus, dan Baghdad; sebagian besar provinsi di Balkan (hingga mencapai wilayah Kroasia dan Austria saat ini); serta sebagian besar Afrika Utara. Tak pelak, Kesultanan Utsmaniyah dipandang sebagai ancaman bagi negara-negara Eropa, Busbecq menuliskan: "Di sisi bangsa Turki ada seseorang yang menjadi sumber kejayaan kekaisaran, dengan kekuatan tak terkalahkan, kemenangan yang terus berulang, tekun dalam bekerja keras, memiliki semangat kesatuan, disiplin, kecermatan, dan ketelitian... Bisakah kita meragukan hasilnya?...Ketika Turki selesai berurusan dengan Persia, mereka akan terbang ke tenggorokan kita dengan dukungan seluruh dunia Timur; dan lihatlah betapa tidak siapnya kita."

Warisan Suleiman tidak terbatas pada bidang militer. Pengelana Perancis Jean de Thévenot satu abad kemudian menyaksikan "basis pertanian yang kuat, kesejahteraan menjadi petani, melimpahnya makanan pokok, dan keunggulan organisasi pada pemerintahan Suleiman". Reformasi administratif dan undang-undang yang memberinya gelar pemberi hukum memastikan keselamatan Utsmaniyah berabad-abad setelah kematiannya.

Melalui perlindungan personalnya, Suleiman juga membawa masa keemasan bagi Utsmaniyah, terutama dalam bidang arsitektur, sastra, seni, teologi, dan filsafat. Kini pemandangan Bosporus dan kota-kota lain di Turki modern dan bekas provinsi Utsmaniyah masih dihiasi oleh karya arsitek Mimar Sinan. Masjid Süleymaniye, tempat bersemayamnya Suleiman dan Herenzaltan, merupakan salah satunya.
Sebuah masjid juga didirikan di Mariupol, Ukraina dan dinamai dari Suleiman. Masjid ini didirikan oleh pebisnis Turki Salih Cihan, yang juga lahir di Trabzon, dan dibuka pada tahun 2005.

Load disqus comments

0 komentar